Pengertian, Sejarah, dan Cabang-cabang Ulumul Hadits
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ulumul Hadist
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu
hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi
bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana
ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science,[1]
sedangkan hadist secara etimologis, hadist memiliki makna jadid, qorib, dan
khabar.[2]
Adapun pengertiannya sebagai berikut:
a. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya
hidast, hudatsa, dan huduts);
b. Qorib: yang dekat, yang bekum lama
terjadi;
c. Khabar: warta, yakni: sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980
: 20)
اَقْوَالُهُ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفَعَاله وَأَحْوَالُهُ
“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau
perilaku Nabi SAW” (Mahmud Thahan, 1978 : 155)
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah
ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli
hadist banyak yang memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar
Al-Asqalani:
الْقَوَاعِد
المُعَرِفَةُ بِحَالِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِيٌ
“Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang
diriwayatkan”[3]
Dari
definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang
membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu
hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis
besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat
(riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a.
Ilmu Hadist Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari
akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql = memindahkan
dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fath = pemintalan.
Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau
menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan
dipertimbangkan/dipintal kebenarannya.[4]
Objek kajian ilmu
Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya.
Hal tersebut mencakup:
a. Cara
periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara
penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
b. Cara
pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan
pembukuannya.
b. Ilmu Hadist
Dirayah
Ilmu Hadist Dirayah, dari
segi bahasa kata berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah =
pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan
tentang hadist atau pengantar ilmu hadist.[5]
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis
Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu
yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam,
dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
a) Syarat-syarat
riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan
menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul
al-Hadits), seperti:
·
Sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari
seorang guru),
·
Qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di
hadapan guru tersebut),
·
Ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk
meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya kepada
seorang untuk diriwayatkan),
·
Kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang),
·
Munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis
kepada seseorang untuk diriwayatkan),
·
I’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu
adalah koleksinya),
·
Washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis
yang dikoleksinya), dan
·
Wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis
dari seorang guru).
b) Objek kajian
atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah
sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
a.
Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu
bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai
pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh
karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus,
tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
b.
Segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap
perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan
dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
c.
Segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
d.
Keselamatan dan cacat (‘illat); dan
e. Tinggi dan
rendahnya martabat suatu sanad.
Pembahasan mengenai matan adalah
meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari
kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau
selamatnya:
a.
Dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
b.
Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al-
ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan
dan makna al-qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
c. Dari kata-kata
asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya
yang umum dikenal.
2.2 Sejarah
Perkembangan Ilmu Hadits
Pada
mulanya, Ilmu Hadits memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri
sendiri, yang berbicara tentang Hadits Nabi SAW dan para perawinya, seperti
Ilmu Hadits al-Shahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain.
Penulisan Ilmu-Ilmu Hadits secara parsial dilakukan, khususnya oleh para ulama
abad ke-3 H. Umpamanya, Yahya ibnu Ma’in (234 H/848 M) menulis Tarikh al-Rijal,
Muhammad ibn Sa’ad (230 H/844 M) menulis Al-‘Ilal dan Al-Kuna, Muslim (261
H/875 M) menulis kitab al- Asma’ wa al-Kuna, Kitab al- Thabaqat dan kitab al-
‘Ilal dan lain-lain.
Ilmu-ilmu
yang terpisah dan bersifat parsial
tersebut disebut dengan Ulumul Hadits, karena masing-masing membicarakan
tentang hadits dan perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang
terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang
sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap
ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap
dipergunakan nama Ulumul Hadits, sebagaimanahalnya sebelum disatukan. Jadi
penggunaan lafaz jama’ Ulumul Hadits, setelah keadaannya menjadi satu, adalah
mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ulumul Hadits, karena telah terjadi
perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama –beberapa ilmu yang
terpisah- menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya
adalah Mushthalah Hadits. Para ulama yang menggunakan nama Ulum al-hadits,
diataranya adalah Imam al-Hakim al-Naisaburi (405 H/1014 M), Ibnu al-Shalah
(643 H/1246 M), dan ulama kontemporer seperti Zhafar Ahmad ibn Lathif
al-Utsmani al-Thawani (1394 H/1974 M) dan Subhi al-Shalih. Sementara itu,
beberapa ulama yang datang setelah Ibn al-Shalah, seperti al-‘Iraqi (806 H/1403
M) dan al-Suyuthi (911 H/1505 M), menggunakan lafaz mufrad, yaitu Ilmu
al-Hadits, di dalam berbagai karya mereka.
2.3 Cabang-cabang
Ilmu Hadist
a. Ilmu Rijal
al-Hadits
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةٍ
الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَا بَةِ وَالتَّا بِعِيْنَا وَمَنْ بَعْدَا هُمْ
“Ilmu yang membahas para perawi
hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan
sesudahnya.”
b. Ilmu Jarh wa
at-ta’dil
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ
الرَّوَاةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِاَ لْفَاظٍ مُخْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَا تِبِ تِلْكَ
اْلأَلْفَاظِ
“ Ilmu
yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.”
c. Ilmu Fann
al-Mubhamat
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِى
وَقَعَ فِى الْمَتْنِ اَوْفِى السَّنَدِ
“Ilmu
untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan atau di
dalam sanad.”
d. Ilmu Tashhif
wa at-Tahrif
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صَحِّفَ مِنَ
اْلاَحَادِيْثِ وَمَا حُرِّفَ مِنْهَا
”Ilmu
yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (yang dinamai
Mushahaf) dan bentuknya yang dinamai Muharraf.”
e. Ilmu ‘Ilal
al-Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ اَسْبَا بِ
غَا مِضَةٍ خَفِيَّةٍ خَادِجَةٍ فِى صِحَّةِ الْحَدِيْثِ
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusak
hadits.”
f. Ilmu Gharib
al-Hadits
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَا وَقَعَ
فِى مُتُوْنِ اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلاَ لْفَاظِ اْلعَرَبِيَةِ عَنْ اَذْ هَا نِ
الَّذِ يْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِا لْعَرَبِيَةِ الْخَا لِصَةِ
”Ilmu
yang menerangkan makna kalimat-kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang
sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum.”
g. Ilmu Nasikh
wa al-Mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّا سِخِ
وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلاَ حَا دِيْثِ
“ Ilmu
yang menerangkan hadits-hadits yang sudah di mansuhkan dan yang menashihkannya.”
h. Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits
عِلْمٌ يُعْرُفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى
وَرَدَ لِاَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَا نُ الَّذِى جَاءَ فِيْهِ
“Ilmu
yang menerangkan sebab-sebab nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi
menuturkan itu.”
i.
Ilmu Talfiq al-Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْفِيْقِ
بَيْنَ اْلاَحَادِيْثِ الْمُتَنَا قِضَةِ ظَا هِرًا
“Ilmu
yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan
zhahirnya.”
j.
Ilmu Musthalah Ahli Hadits
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَمَّا اَصْطَلَحَ
عَلَيْهِ الْمُحَدِثُوْنَ وَتَعَارَفُوْهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ
“Ilmu
yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh
ahli-ahli hadits)”
0 komentar:
Posting Komentar